Perang yang Tak Terlihat: Ketika “Menang” Melawan Kanker Berarti Bertahan

Bagi kita yang pernah mendampingi seorang teman, klien, atau orang terkasih dalam perjuangan mereka melawan kanker, kita sering kali menyaksikan sebuah perang yang terjadi di belakang layar yang tidak pernah kita sadari keberadaannya sebelumnya. Kita melihat kekuatan mereka, tetapi kita juga harus menjadi saksi ketika mereka merasa lemah, putus asa, dan dalam kesakitan.

Ini adalah pertempuran yang dimulai bukan dengan sebuah aba-aba dan peringatan, melainkan dimulai dari sebuah kejutan yang mengagetkan.

Kejutan Pertama: Diagnosis Tanpa Peringatan

Banyak dari kita membayangkan bahwa kanker akan memiliki beraneka macam gejala seperti rasa sakit atau gejala yang jelas. Namun bagi banyak orang, seperti klien saya, diagnosis datang “tanpa gejala” (asymptomatic). Suatu hari, Anda menjalani hidup Anda, merasa baik-baik saja. Keesokan harinya, sebuah pemindaian rutin mengungkap bahwa suatu penyakit di stadium lanjut telah berkecamuk di dalam tubuh Anda. Datang begitu saja tanpa gejala ataupun aba–aba.

Keterkejutan psikologisnya mustahil untuk digambarkan. Ada rasa pengkhianatan yang mendalam dari tubuh sendiri. Tidak ada tembakan peringatan, tidak ada persiapan. Pertarungan dimulai dengan serangan yang mengejutkan, mencoba mencari pijakan di tanah yang telah runtuh di bawah kaki kita.

    Kejutan Kedua: Tiang Gawang Bergeser dari “Sembuh” menjadi “Terkendali”

    Setelah diagnosis awal, naluri manusia adalah berjuang untuk sembuh. Kita berkumpul, kita bersiap untuk satu pertempuran yang menentukan untuk “mengalahkan ini.”

    Namun bagi banyak penderita kanker stadium lanjut, kejutan kedua sering kali jauh lebih berat. Ini adalah kesadaran yang perlahan-lahan muncul bahwa tujuan dari pertempuran ini bukan untuk mengeliminasi penyakit, tetapi untuk mengendalikannya. Pertarungan ini bukanlah lari cepat; melainkan menjadi kondisi kronis, sebuah uji ketahanan seumur hidup.The Zero Sum Game. Para dokter, pasien, dan orang-orang yang mereka cintai memasuki perlombaan tanpa henti melawan penyakit yang secara menakutkan “pintar”.

    Pengobatan mungkin dimulai dengan keajaiban ilmu pengetahuan modern, “obat pintar” seperti terapi target. Obat ini adalah kunci yang dirancang sempurna agar sesuai dengan “gembok” spesifik pada sel kanker, mematikan kemampuannya untuk tumbuh. Dan untuk sementara, itu berhasil. Ada kelegaan, harapan, dan napas lega.

    Tetapi satu-satunya tujuan hidup sel kanker adalah untuk bertahan. Ia beradaptasi. Ia bermutasi. Ia mengganti gemboknya” atau “membangun pintu baru,” menemukan cara yang berbeda untuk tumbuh. “Kunci pintar” itu tidak lagi pas. Ini bukanlah sebuah kegagalan. Ini memang adalah sifat dan kemampuan bertahan sel Kanker.

    Maka, “permainan” pun diulang. Para dokter harus memainkan kartu baru. Saat inilah mereka beralih ke “kemo tradisional”—senjata yang lebih tumpul, tetapi diperlukan. Kemo menyerang semua sel yang membelah dengan cepat, bukan hanya kanker. Dan bersamanya, muncul serangkaian efek samping yang baru—anemia yang mencuri energi orang terkasih, beban berat pada organ vital tubuh, rasa sakit yang terus-menerus.

    Pertarungan menjadi sebuah siklus: gunakan satu senjata sampai berhenti bekerja, tahan efek sampingnya, lalu beralih ke senjata berikutnya, dan berdoa agar itu bisa membeli lebih banyak waktu. Hadiahnya kini bukanlah kesembuhan. Hadiahnya adalah waktu. Hadiahnya adalah bertahan agar tetap bersama dengan orang orang yang dicintai lebih lama lagi.

    Perang di Tiga Lini Depan

    Apa yang sering gagal kita lihat dari luar adalah bahwa orang yang kita cintai tidak sedang bertempur dalam satu perang; mereka bertempur dalam tiga perang, langsung, semuanya sekaligus.

    Perang Fisik: Inilah yang kita dapat lihat secara langsung. Ini adalah pertarungan melawan kankernya sendiri, dan juga pertarungan harian yang melelahkan melawan efek samping pengobatannya. Kelelahan akibat anemia Rasa mual akibat gangguan pencernaan. Tes darah terus-menerus untuk memeriksa apakah pengobatan merusak ginjal atau hati mereka. Ini adalah pekerjaan penuh waktu hanya untuk bertahan hidup dari “pengobatan” yang diberikan.

    Perang Psikologis: Ini adalah pertempuran yang tak terlihat. Ini adalah duka atas kehidupan yang dulu dimiliki. Ini adalah “scan-xiety” (kecemasan akan pemindaian), ketakutan yang sampai terasa di perut dan kepala menjelang kunjungan dokter berikutnya. Ini adalah beban untuk mencoba “tetap positif” demi orang lain, sementara lelah secara mental karena hidup di ujung tanduk, mengetahui tujuannya hanyalah untuk “mengendalikan”.

    Perang Finansial: Ini adalah yang paling kejam dan brutal dari ketiganya. Kanker membutuhkan biaya yang luar biasa besar. “Obat pintar” bisa berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah per bulan. Ketika itu berhenti bekerja, rejimen kemo yang baru memulai tagihannya sendiri yang tiada henti. Ini bukan biaya sekali bayar. melainkan biaya cicilan untuk hidup itu sendiri, beban berat yang memaksa keluarga untuk menimbang keuangan mereka dengan masa depan mereka.

      Bagaimana Kita Bisa Benar-Benar Membantu?


      Sangatlah manusiawi untuk merasa tidak berdaya saat menghadapi pertempuran sebesar ini. Kita ingin membantu, tetapi kita tidak tahu caranya. Kita berkata, “Tetap kuat,” atau “Kamu pasti bisa mengalahkan ini.” Tetapi bagi seseorang yang tengah  berjuang dalam situasi ini, kata-kata itu bisa terasa hampa. Inilah yang mungkin mereka butuhkan sebagai gantinya:

      Hadir, Bukan Hanya Positif: Jangan takut pada kesedihan atau kemarahan mereka. Hal paling kuat yang bisa Anda katakan adalah, “Ini sangat tidak adil, dan aku akan tetap di sini bersamamu.” Duduklah bersama mereka dalam kegelapan walaupun dalam kesunyian, bukan hanya dalam terang.

        Jadilah Praktis: Kelelahannya bersifat total. Jadi Jangan bertele tele dan berkata, “Beri tahu aku jika kamu butuh sesuatu.” Itu membebani mereka untuk meminta. Alih-alih, lakukan hal-hal spesifik: “Aku akan membawakan makan malam hari Selasa.” “Aku punya tiga jam luang hari Jumat; aku akan mengantarmu tes darah.” “Aku akan datang untuk menonton film denganmu, dan kita tidak perlu bicara jika kamu tidak mau.”

        Jadilah Gigih dan Setia: Perang ini bukan lagi pertarungan enam bulan, melainkan bisa berlangsung bertahun-tahun. Banyak teman dan keluarga yang  perlahan menghilang saat “kenormalan baru” mulai terbentuk. Padahal seiring waktu, pertarungan pasien menjadi lebih sulit dan lebih sepi. Maka jadilah orang yang masih memberi kabar, masih muncul, masih bertanya, “Bagaimana kabarmu hari ini?”

        Pengalaman saya berdiri di samping seseorang dalam perjuangan ini adalah menyaksikan definisi keberanian yang paling sejati. Ini bukanlah keberanian seperti di film Action. Ini adalah keberanian yang sunyi, Berat dan keras, serta tak kenal lelah untuk bangun setiap hari, mengetahui perang belum berakhir, dan memilih untuk bertahan sekali lagi…. Demi orang yang dicintai.

          Sumber dan Referensi

          1. Lin, C., et al. (2023). “Mechanisms of resistance to amivantamab in EGFR-mutant non-small cell lung cancer”. Signal Transduction and Targeted Therapy
          2. National Cancer Institute (NCI). (2022). Resistance to Targeted Therapy
          3. American Cancer Society. (2023). Chemotherapy-Induced Anemia.
          4. National Cancer Institute (NCI). (2020). Financial Toxicity and Cancer Treatment.
          5. Palliative Care Network of Wisconsin. When the Goal of Treatment Shifts from Cure to Control.

          Baca Artikel Terkait

          Amica Sukses Mandiri©2024
          All rights reserved.

          Developed By :
          Pleinhaus