Lebih dari Sekadar Luka: Kesehatan Mental Pasca Mastektomi dan Merangkul Dukungan Orang Tercinta

“Kok mama berbeda?”

Pertanyaan polos itu datang dari si kecil dan rasanya sangat “berat” sekali mendengarnya. Bagi seorang ibu yang baru saja melakukan Mastektomi, Kemoterapi, dan Radiasi, pengobatan yang membawa perubahan pada bentuk tubuh, momen itu merupakan pengingat bahwa perjuangan belum selesai. Artikel ini terinspirasi dari cerita nyata salah satu klien kami, penyintas Kanker Payudara. 

Penyembuhan dari kanker payudara itu tidak hanya tentang bekas jahitan operasi. Perjalanan sebenarnya justru tidak terlihat secara nyata, yaitu perjuangan sehari-hari dalam menghadapi perubahan pribadi setelah mastektomi.

Kami ingin berbagi dengan anda pengalaman salah satu Klien kami  untuk para pejuang kanker dan orang sekitar agar tahu cara terbaik memberi dukungan serta panduan halus untuk menjawab pertanyaan yang sulit dari anak tercinta.

1. Untuk Kamu, Pejuang Hebat: Saatnya Menemukan Lagi Kekuatan Dirimu

Mari kita mulai dari satu fakta tak terbantah yakni: Perasaan kamu itu valid. Sedih, marah, gelisah, atau rasa aneh saat lihat ke cermin, itu semua bagian dari proses. Anda tidak overreacting dan overthinking, dan anda sedang berjuang untuk dirimu sendiri.

  1. Memahami Perasaan Yang Berbeda pada Diri Sendiri: Para ahli Psikologi dan penyintas kanker sepakat bahwa merasa aneh dengan tubuh sendiri setelah mastektomi adalah hal yang wajar. Bukan hanya penampilan, tapi proses kehilangan yang wajar. Jadi, nggak apa-apa memberikan dirimu waktu untuk berduka dan merasa sedih. 
  2. Menemukan Pertumbuhan di Tengah Luka: Ketika dalam titik terendah sekalipun, manusia bisa menemukan kekuatan dalam diri yang sebelumnya nggak pernah disadari. Kekuatan ini membuat kita memiliki  apresiasi hidup yang lebih dalam, hubungan yang lebih bermakna, dan kekuatan batin yang tidak pernah kita  sadari sebelumnya. Ini yang dinamakan Post-Traumatic Growth (Pertumbuhan Pasca-Trauma). 

Langkah Nyata Menuju Pemulihan: Sebuah Strategi

Pemulihan itu bukan sesuatu yang terjadi begitu aja. Itu pilihan untuk terus melangkah, sedikit demi sedikit. Berikut beberapa cara yang bisa anda jalani:

A. Mindful Self-Compassion

Ini bukan tentang manjain diri, tapi tentang memberi kebaikan yang sama ke diri sendiri, seperti yang akan kita berikan ke teman sekitar. Saat pikiran negatif datang, coba taruh tangan di dada, rasain hangatnya dan bilang ke diri sendiri, “Ini emang berat. Tidak apa-apa aku merasa seperti ini. Aku bakal melewatinya.” cara ini terbukti secara ilmiah bisa bantu menenangkan sistem saraf dan meningkatkan ketahanan emosional.

Baca juga : Deteksi Dini & Pengobatan Terbaru: Harapan Baru Kanker Payudara di Indonesia

B. Expressive Writing

Pikiran yang terus berputar di kepala pastinya butuh jalan keluar. Pulpen dan kertas bisa jadi sangat berguna disini. Coba luangkan 15 menit, dan tuliskan semuanya. Biarkan semua mengalir, seperti amarah, kesedihan, ketakutan, bahkan harapan. Para peneliti menemukan bahwa aktivitas ini membantu otak kita memproses emosi yang rumit yang akhirnya melegakan beban di yang ada di pikiran.

C.  Bantuan Profesional 

Bayangin ada seorang pemandu yang paham banget cara bantu anda menata pikiran. Nah, itulah peran psikolog atau terapis. Dan mereka memiliki berbagai alat dan metode yang udah terbukti efektif, seperti:

  1. Terapi Kognitif Perilaku (CBT): Membantu Anda mengenali dan mengubah “kacamata” negatif yang mungkin Anda kenakan saat melihat diri sendiri dan dunia
  2. Terapi Penerimaan dan Komitmen (ACT): Mengajarkan cara untuk “berdamai” dengan perasaan sulit, sehingga Anda tidak lagi dikendalikan olehnya dan bisa tetap melangkah menuju hidup yang Anda inginkan.

D. Keajaiban dalam Sebuah Komunitas

Ada sesuatu yang luar biasa saat kita bertemu orang yang bilang, “Aku juga ngerasain hal yang sama.” Rasa terhubung ini jadi obat buat rasa sepi yang kamu rasakan. Baik lewat komunitas online maupun offline, support group bisa kasih dukungan, dan pengingat penting bahwa kamu tidak pernah benar-benar sendirian.

2. Untuk Kita Semua: Menjadi Sandaran yang Tulus bagi Penyintas

Niat baik seringkali tidak tersampaikan dengan baik. Sebagai pendukung, baik itu pasangan, keluarga, maupun sahabat, peran kita adalah menciptakan ruang aman, bukan menambah beban. Berikut adalah hal yang bisa anda lakukan untuk mendukung penyintas:

  1. Komentar tentang Penampilan: Bahkan pujian seperti, “Kamu kelihatan kuat sekali!” bisa jadi membuat mereka tertekan. Hindari komentar apapun tentang perubahan fisik kecuali mereka yang memulainya.
  2. Toxic Positivity: Kalimat seperti, “Tetap semangat ya!” atau “Pasti ada hikmahnya,” bisa tanpa sengaja meremehkan rasa sakit yang sedang mereka alami.
  3. Memberi Nasihat yang Tidak Diminta: Jangan menyarankan diet, pengobatan alternatif, atau membandingkan dengan cerita orang lain.
  1. Dengarkan untuk Memahami, Bukan untuk Menjawab: Kamu bisa cukup dengarkan apa yang mereka ceritakan. Biarkan mereka tahu bahwa perasaan mereka didengar.
  2. Tawarkan Bantuan Spesifik: Panduan dari berbagai lembaga kanker terkemuka menyarankan ini. Ganti “Kalau butuh apa-apa, bilang ya,” ke “Aku mau ke supermarket besok, mau titip apa?” atau “Aku bisa bantu antar jemput anak-anak hari Rabu.” Ini menghilangkan beban bagi mereka untuk harus meminta.
  3. Fokus pada Pribadinya, Bukan Penyakitnya: Ajak mereka bicara tentang hobi, film, pekerjaan, atau kenangan lucu. Ingatkan mereka bahwa identitas mereka jauh lebih besar daripada status mereka sebagai pasien atau penyintas.

Sebagai pendamping bagi orang terkasih yang berjuang melawan kanker, peran kita bukanlah untuk “memperbaiki” mereka, melainkan menciptakan ruang aman dan mendukung mereka dalam proses menemukan kekuatan untuk berjuang dari dalam diri mereka sendiri.

3. Menjelaskan pada Si Kecil: Bicara dengan Cinta Tentang Perubahan Tubuh

Sekarang, mari kita bahas pertanyaan yang sering bikin hati sedih: “Kok Mama berbeda?

Pertanyaan ini bukan bentuk penilaian, tapi bentuk rasa ingin tahu dan kebutuhan seorang anak untuk merasa aman. Mereka melihat perubahan dan ingin memastikan kalau orang yang mereka cintai baik-baik saja. Para ahli perkembangan anak dan onkologi menyarankan agar kita menjawab dengan cara yang berfokus pada hal itu: menumbuhkan kembali rasa aman mereka.

  1. Gunakan Bahasa Sederhana: “Mama punya penyakit di dalam dada, dan dokter harus mengangkatnya supaya penyakitnya hilang. Luka ini adalah bukti kalau Mama sekarang sedang dalam proses menjadi sehat dan kuat lagi.” Dengan menggunakan kata “luka” atau “bagian yang sakit” anak lebih mudah memahaminya daripada istilah medis.
  2. Tekankan pada Pemulihan, Bukan Penyakit: Buat percakapan seputar kesehatan dan kekuatan. “Ini adalah cara dokter membantu Mama supaya bisa terus bermain” Ini memberi pesan harapan. 
  3. Berikan Jaminan Cinta yang Tak Berubah: Ini adalah kunci terpenting. Peluk mereka erat dan yakinkan dengan kata-kata, “Meskipun tubuh Mama ada yang berubah, cinta Mama untuk kamu akan selalu sama besarnya dan tidak akan pernah berkurang sedikit pun.”

Kesimpulan: Penyembuhan adalah Sebuah Tarian

Penyembuhan itu bukan jalan lurus kedepan yang sempurna, tapi seperti tarian yang kadang maju, kadang mundur sedikit, tapi selalu ke arah penerimaan dan cinta kasih. Proses memulihkan kesehatan mental setelah mastektomi dan terapi Kanker adalah perjalanan yang disusun dari kekuatan diri, dukungan tulus dari orang-orang sekitar, dan komunikasi hangat dalam keluarga. Luka bukan tanda akhir cerita, tapi itu awal dari babak baru tentang kekuatan yang lebih dalam.

Sumber dan Referensi

  1. American Cancer Society (ACS): Panduan mengenai komunikasi dengan anak dan keluarga saat orang tua menderita kanker.
  2. National Cancer Institute (NCI): Rekomendasi untuk berbicara dengan anak-anak tentang diagnosis dan perubahan fisik akibat pengobatan kanker.
  3. Riset Ilmiah Mengenai Dampak Psikologis Kanker Payudara: Berbagai studi mengenai citra tubuh, stres, dan kecemasan pada penyintas mastektomi yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal di bidang Psycho-Oncology, Clinical Psychology, dan Oncology.
  4. Riset Mengenai Self-Compassion: Karya dan penelitian dari Dr. Kristin Neff dan para ahli lain di bidang psikologi yang menunjukkan manfaat self-compassion untuk kesehatan mental.
  5. Riset Mengenai Menulis Ekspresif: Studi oleh James W. Pennebaker dan lainnya yang menunjukkan manfaat terapeutik dari menulis tentang pengalaman emosional.
  6. Riset Mengenai Psikoterapi untuk Penyintas Kanker: Studi klinis yang mengevaluasi efektivitas CBT dan ACT untuk pasien onkologi.

Baca Artikel Terkait

Amica Sukses Mandiri©2024
All rights reserved.

Developed By :
Pleinhaus